Oretan-Guru Musik I. Prelude
- Agung Siregar
- Jul 12, 2018
- 5 min read
Pertengahan tahun 2017 ini aku mendapat tawaran untuk menjadi seorang guru musik di sekolah Charis di kota Malang. Sebuah tantangan baru yang sangat membuat aku bersemangat walaupun dulu sebelumnya aku pernah bekerja mengajar di Charis untuk anak SMP dan SMA tahun 2010-2013. Ya, kini tawaran untuk mengajar anak PAUD, TK hingga SD kelas 2, yaitu anak-anak yang masih dalam usia ‘kinder’- penggolongan usia untuk masa belajar usia 2-8 tahun yang bisa kita pinjam dari istilah asing. Sebelumnya tentu aku sudah mempunyai bahan-bahan untuk aku berikan pada anak-anak kecil tetapi belum aku tuangkan apapun dalam bentuk kurikulum atau perencanaan mengajar (lesson plan) atau apapun itu. Bahan-bahan ku masih tersebar dalam kepala saja maupun link-link internet, folder-folder computer maupun koleksi-koleksi buku ku. Ya, masih berantakan semua dan harus ku sapu dan ku-cikrak untuk dikumpulkan menjadi satu.
Aku mulai merunut-mengurut dari awal semua hal tentang pembelajaran musik. Aku melemparkan ingatanku semenjak aku duduk dibangku sekolah SD, semua hal yang masih terekam walaupun mungkin tidak detail dan samar. Dulu aku pernah merasakan menjadi seorang siswa sekolah seperti siswa-siswa ku saat ini. Yang ku rasakah ketika jam musik tiba adalah hiburan, tempat melepas penat setelah jungkir balik dikelas matematika atau fisika atau biologi. Sebenarnya pelajaran favoritku selain musik adalah menggambar dan olah-raga, di kelas ini seolah kami dapat mencopot otak dan meletakannya sejenak di meja. Di kelas musik rasanya tidak perlu memakai otak, cukup menyanyi, main recorder ( seruling ) dan mempelajari notasi balok maupun notasi angka. Gurunya biasanya bisa dari guru agama atau guru bahasa menyamar menjadi seniman. Sangat menghargai apa yang dulu guru musik SD-SMP ku pernah ajarkan, karenanya aku sekarang dapat mengajarkan recorder ( seruling ) ke siswa-siswa ku dan sekarang pitch-ku dalam menyanyi juga baik. Aku merasakan manfaat yang begitu besar melalui apa yang pernah mereka ajarkan. Walaupun pada saat SD dan SMP diajarkan notasi balok dan angka aku tidak pernah hafal, semua berlalu begitu saja. Dan tanpa harus menghafal segala bentuk simbol notasipun nilai musik ku baik-baik saja. Biasanya diraport bukan nilai angka tetapi komentar ; Baik, Cukup Baik atau Kurang Baik, tidak pernah ada keterangan kenapa mendapat komentar nilai seperti itu. Tidak pernah ada evaluasi, seperti sudah menjadi tradisi turun-temurun hingga saat ini.
Tetapi sebagai pribadi yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan musik dengan berani aku menyatakan bahwa kurikulum musik dari jaman dulu yang pernah disusun belum pernah membicarakan tentang kearah mana pendidikan musik akan dituju. Kehilangan arah dalam arti tidak didalami permasalahan ‘hulu’, ‘hilir’ dan ‘muaranya’. Sehingga musik hanya seperti air mengalir saja, tidak ada pemikiran akan makna mendalam dari setiap proses air itu mengalir. Permasalahan musik hanya sampai sebatas pengertian, istilah atau definisi saja-tidak perlu dalam-dalam, tidak ada pembahasan yang mendalam tentang musik pendidikan. Musik untuk senang-senang saja lah, untuk mengisi jam pelajaran yang kosong, atau jam itu boleh diambil bagi pelajaran lain yang membutuhkan jam tambahan. Tetapi ada pula beberapa sekolah swasta di Indonesia dengan kurikulum luar negeri memiliki cara pandang yang lebih serius tentang pendidikan musik, mereka sangat menyadari peran dan manfaat musik tetapi sayangnya tidak dibarengi oleh tenaga ahli yang memang ahli dalam bidang kependidikan musik, mereka memakai seniman yang ahli dibidangnya yang terkadang belum tentu mampu mengajar musik tetapi mereka sangat ahli secara teknis dalam berkarya musik. Pengajar seperti ini akan mengajarkan tentang penguasaan notasi dan teknik-tekniknya ( skill ). Bagi mereka yang tidak melikiki bakat musik pendekatan yang salah akan menjadikan ‘neraka’ bagi mereka. Mungkin hal-hal tersebut juga terjadi hingga saat ini, atau mungkin kejadian ini sama tua nya dengan usia negara RI yang kita rayakan setiap tanggal 17 Agustus.
Kalau pemerintah memahami manfaat dan tujuan pendidikan musik dan serius menanganinya tentu dapat membantu membentuk sebuah peradaban yang lebih baik lagi di negara kita. Karena itu sebagai guru musik kita harus tahu manfaat musik, tujuan serta memahami ‘panggilan’ kita. Salah satu tujuan pendidikan musik adalah membentuk Kebijaksanaan ( wisdom ) sebuah kecerdasan yang sublime, maupun kecerdasan dengan kemampuan menganalisa atau memikirkan sesuatu secara mendalam dan menyeluruh. Kemudian muncul pertanyaan, menapa banyak orang bodoh tetapi pandai bernyanyi? Ini adalah sebuah fakta lucu. Mari kita kaji lebih dalam antara ber-musik, musik dan pendidikan musik. Jawabanku terinspirasi oleh quotes bapak Yapi Tambayong ; ‘Sekolah Musik, Instrumental maupun Vokal memang perlu membedakan kemampuan manusia dengan burung. Sebab kalau Cuma membunyikan nada-nada merdu, burung yang tidak bersekolah pun bisa melakukannya.’ Nah, burung yang kerjanya hanya makan ketika lapar, mandi ketika gerah, kawin ketika waktunya mampu bernyanyi indah di pagi hari, apa bedanya engkau dengan burung kalau begitu? Ya, tentu beda, engkau punya otak yang lebih besar daripada seekor burung yang harus dikembangkan, engkau punya jiwa yang lebih bermartabat daripada seekor burung yang harus dimaksimalkan untuk menjadi manusia seutuhnya.’ Jadi musik tidak semata-mata membahas suara indah atau kemampuan bernyanyi saja. Itu masih kulit paling luar dari pendidikan musik. Tugas ku dan kita sebagai seorang sarjana musik adalah untuk mulai menentukan arah pendidikan musik di Indonesia.
Pengalaman mengajar musik untuk SMP dan SMA sudah ku lakukan dari tahun 2006 di beberapa sekolah di Jakarta dan semenjak tahun 2009 hingga 2013 di kota Malang. Sempat merasa trauma menjadi guru musik karena harus tunduk terhadap kurikulum pemerintah, maupun keinginan sekolah melihat musik sebagai ‘pelengkap-penderita’ di sekolah merasakan banyak siswa yang tidak suka dengan musik tetapi mereka terpaksa melahap kurikulum yang tidak mereka suka. Alhasil yang mereka yang dikaruniai bakat yang mampu bertahan di kelas musik. Menjadi guru musik itu tidak punya kebanggan, tidak seperti guru fisika, matematika, biologi dan lainnya. Guru musik itu di cap sebagai orang gagal yang kebetulan memiliki suara yang indah, bisa main gitar, main piano yang kebetulan juga bisa mengajar. Sekolah membutuhkannya untuk melatih koor 17 an atau melatih band sekolah atau acara-acara sekolah yang membutuhkan hiburan musik sebagai pelengkap. Menyiapkan siswa-siswa berbakat untuk mengikuti berbagai macam kompetisi sebagai partisipasi sekolah maupun menambah koleksi piala-piala kegiatan seni sebagai tanda sekolah yang aktif, dinamis dan berprestasi. Guru musik bukan sesuatu yang prestisius. Mungkin itu salah satu alasan sebabnya banyak seniman musik yang ogah jadi guru musik. Menjadi guru musik adalah pilihan terakhir para sarjana musik ketika sudah mulai tidak produktif di dunia kesenimanan/kesenian. Pengalaman mengajar tersebut cukup bagiku untuk menarik kesimpulan tentang bagaimana siswa-siswa SMP dan SMA sebagian besar tidak suka pelajaran musik sepenuhnya, cukup bagiku menarik kesimpulan kenapa hanya sebagian siswa yang memiliki bakat saja yang mampu melalui ‘masa-masa’ pendidikan musik dan tentang bagaimana sedikit banyaknya musik membantu kehidupan mereka.
Pengalamanku yang lalu mendorong untuk mengumpulkan kepingan-kepingan puzzle yang berantakan berserakan. Harus ada sebuah cara untuk mengatasi permasalahan Hulu yang berdampak ke Hilir hingga di Muara. Kini aku diberi kesempatan olehNya untuk menangani sebuah pendidikan musik dari Playgroup, TK hingga kelas 2 SD. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, itu sebabnya aku mengatakan bahwa aku sangat semangat. Aku sangat berterima kasih terhadap sekolah Charis sudah memberikanku sebuah laboratorium pendidikan musik tanpa sedikitpun harus mengacu kepada kurikulum nasional untuk pendidikan musik. Sekolah Charis mempercayaiku untuk berimprovisasi, mengaransmen bahkan mengkomposisi sebuah metode pendidikan musik yang baru. Walaupun aku meyakini tidak ada lagi sesuatu yang baru, yang ada hanyalah kemampuan menumpuk ‘batu bata’ ( gagasan/ide ) yang sudah ada.
‘Peka Terhadap Bunyi-Sunyi; Ciri Kecerdasan yang Sublim’ – Erie Setiawan
‘Peka Terhadap Bunyi-Sunyi; Ciri Kecerdasan yang Sublim’ – Erie Setiawan
Comments