top of page

Oretan-Guru Musik II. Doa

  • Agung Siregar
  • Jul 12, 2018
  • 3 min read

Ber-musik adalah kemampuan ber-refleksi, kemampuan ini hanya dapat dilakukan oleh jiwa. Merefleksikan bunyi-getaran-kata, ya sifatnya meditative, itu sebabnya pada jaman dahulu hingga sekarang musik selalu ada dalam ranah ritual keagamaan. Ber-musik itu adalah suatu kegiatan membuka ‘roh’ atau jiwa. Itu sebabnya ‘musik’ sangat erat dengan prilaku pribadi. Musik dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah budaya tetapi sekaligus juga dapat dikatakan musik adalah sebuah hasil kebudayaan. Hampir sama seperti pertanyaan ini; ‘mana lebih dahulu ada, ayam atau telornya?’.

Para ahli filsafat dan ahli agama mengatakan bahwa bumi diciptakan oleh Tuhan melalui ‘musik’. Bunyi—getaran—kata adalah musik; Berfirmanlah Allah ; ‘Jadilah Terang’. Bunyi dan getaran adalah ‘energi’—Fisika sedangkan kata adalah Jiwa. ‘Musik’ seperti itu hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri, dan hal ini menjelaskan sebenarnya betapa penting musik bagi kehidupan, tidak hanya melulu tentang penguasaan nada-nada, melodi, harmoni tetapi juga menyangkut tentang ‘energi’ dan ‘jiwa’. Pendidikan musik nasional menghapus tentang ‘energi’ dan ‘jiwa’ karena terlalu abstrak yang kemudian dipisahkan dan dimasukan kedalam ilmu agama, olahraga, fisika, biologi dan lainnya agar logikanya menjadi terang benderang. Musik adalah sebuah kesatuan ilmu sebuah istilah yang menjelaskan tentang fisika, filsafat, biologi, astronomi, psikologi, arsitektur, kedokteran, matematika, seni rupa dan ilmu agama, yang mana melalui kesemua ilmu ini seorang manusia diharapkan mampu menjadi manusia seutuhnya, penggabungan ilmu ini disebut Musik dalam bahasa Yunani disebut ‘Muse’ yang artinya Jiwa. Pada jaman dahulu mereka yang mampu menguasai ilmu musik ini disebut sebagai Filsuf, orang bijak, cendekia. Seiring dengan perkembangan jaman ilmu-ilmu ini dipisah dan berdiri sendiri-sendiri. Musik karena sifatnya lebih meditative lebih lekat kepada ilmu agama, dan selalu erat dalam ritual. Dan seiring perkembangan jaman maka ilmu agama berpisah dengan ilmu musik walaupun masih digunakan dalam ritual keagamaan tetapi juga dapat berkembang diluar itu. Yaitu sebagai ‘candu’ hiburan, musik adalah makanan ‘roh’ atau ‘jiwa’, kini menu untuk roh dan jiwa lebih variatif sesuai dengan perkembangan jaman. Ada menu musik dikala gundah putus cinta, ada musik dikala senang dan macam-macam suasana lainnya untuk kebutuhan roh dan jiwa yang berbeda-beda. Setelah kita mendengarnya bak-candu kita merasa puas. Kualitas sebuah bangsa dapat dilihat dari kualitas lagu-lagu yang diciptakan oleh musisi-musisinya yang sedang nge-trend pada saat itu. Itu sebabnya dapat dikatakan seni mampu merepresentasikan sebuah peradaban.

Kurikulim pendidikan musik nasional akhirnya terlarut dalam industri musik alias kebutuhan pasar. Bagaimana cara memainkan karya-karya lagu yang virtuos, musik-musik yang laris di pasar. Bukan tentang bagaimana musik dapat membantu anak-anak ini memaksimalkan diri atau potensinya. Tentang bagaimana musik mampu memaksimalkan kehidupan. Tentang bagaimana musik membantu anak-anak memahami matematika, fisika, filsafat, biologi dan bidang ilmu lainnya. Tentang bagaimana musik menstimulus otak untuk dapat mampu merekam banyak informasi. Tentang bagaimana musik membantu anak-anak lebih kreatif. Tentang bagaimana musik dapat membantu anak-anak dekat dengan Tuhan dan mengagumi ciptaanNya. Tentang bagaimana musik membantu anak-anak bertumbuh dalam lingkungan sosialnya, dan masih banyak lagi.

25 Tahun yang lalu aku pernah mendengar sebuah cerita dalam sebuah ceramah ibadah, tentang malaikat yang dibuang oleh Tuhan bernama Lucifer. Dikatakan tubuhnya mampu mengeluarkan bebunyian yang indah. Malaikat tersebut bertugas memimpin para malaikat memuji Tuhan dalam takhtaNya, namun kemudian ingin menjadi seperti Tuhan. Ia memberontak melawan Tuhan dan dibuang dari surga ke bumi, Yehezkiel 28:13. Melalui cerita itu kita mampu menarik kesimpulan bahwa di surga pun ada musik-ada bunyi/getaran/energi da nada kata/makna/jiwa. Berarti musik memiliki sifat kekal, sekalipun bumi berakhir yang tersisa nantinya hanyalah ‘musik’-untuk memuji Tuhan. Coba kita para guru musik merenungkan ini, betapa dalamnya tugas yang harus diemban. Sebenarnya posisi kita adalah digaris depan dalam memberi cahaya penerangan pada jiwa-jiwa yang membutuhkan tuntunan. Kita memiliki tugas yang sangat besar di dunia ini. Tiada yang mustahil, kita diberi kemampuan untuk berkomunikasi dengan Tuhan secara istimewa.

Melihat cerita malaikat Lucifer yang telah dibuang oleh Tuhan ke bumi itu dapat menjadi cerita tersendiri. Di dunia ini sering kita melihat musik-musik ritual atau musik-musik umum yang membawa kepada transcendental tertentu. Sekali lagi ku ingatkan bahwa bermusik itu adalah kegiatan membuka ‘roh’. Nah dalam aksi transcendental tersebut kita dapat melihat roh apa yang masuk kedalam diri seseorang sehingga terkadang kita melihat orang tersebut ‘kesurupan’. Menyembuhkannya pun harus dengan musik (energy-jiwa) ‘bermuatan ke Illahian’-Firman Tuhan. Musik-musik bermuatan roh sesat/destruktif banyak kita jumpai dari awal peradaban hingga saat ini. Berbagai aliran musik telah ditunggangi oleh roh/jiwa sesat tersebut. Mampu dengan cepat mempengaruhi seseorang karena sekali lagi bermusik adalah kegiatan membuka roh, membuka pintu jiwa. Satu lagi tugas seorang guru musik adalah menjaga jiwa siswa-siswanya agar sadar akan hal ini. Jadi bukan hanya sekedar mengajarkan nada saja. Tetapi juga memberikan pengetahuan akan sisi baik dan sisi buruk dari musik, memberikan dan melatih ‘kesadaran’-conciousness. Ajari mereka ‘bermusik’ dengan baik, karena itu sama dengan berdoa dua kali.

‘Qui Bene Cantat Bis Orat/Bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali’ -St. Agustinus

 
 
 

Comments


WA.08121749578

©2018 by Agung Siregar. Proudly created with Wix.com

bottom of page