top of page

Oretan-Guru Musik IV. Teraphy

  • Agung Siregar
  • Jul 12, 2018
  • 3 min read

Kesehatan menjadi salah satu tujuan terpenting manusia, tanpa sehat tentu manusia tersebut dapat terhambat menuju harapan-harapan dimasa mendatangnya. Teraphy musik membantu manusia mengatasi masalah-masalah seputar ketidak seimbangan jiwa dengan pendekatan-pendekatan ragawi maupun indrawi melalui latihan-latihan rutin dengan media musik, memang bukan untuk menyembuhkan tetapi untuk memaksimalkan potensi-potensi yang belum berkembang dengan harapan mampu mengatasi ketidak seimbangan tersebut. Aku tidak akan membahas mendalam tentang musik teraphy, hanya membahas pemahaman-pemahaman dasar dan pengalaman sepintas tentangnya. Penting untuk diketahui oleh para guru musik bahwa musik memiliki sifat teraupetik dilihat dari manfaat-manfaat yang telah dihasilkan oleh musik. Kita tidak boleh mengabaikan hal ini dengan lebih mengutamakan tujuan-tujuan yang sifatnya lebih akademis dan struktural. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sifat seni sendiri sudah abstrak, biasanya ukuran nilai seni disekolah dilihat dari nilai-nilai estetika untuk menghindari hal-hal yang abstrak. Mungkin hingga saat ini belum pernah dipakai hal-hal yang bersifat pengembangan karakter dalam penilaian seni, misalnya; kemampuan bekerjasama, kemampuan menghargai orang lain atau yang lebih dalam pengembangan individu misalnya; kemampuan fokus, kemampuan menggerakkan tangan kiri dan kanan secara seimbang dan lain sebagainya.

Pelajaran sekolah tentu sudah dibatasi oleh waktu, 30 menit hingga 45 menit dalam 1 jam pelajaran. Dan biasanya pelajaran seni hanya mendapat jatah 1 jam dalam satu minggunya dengan menangani 20 hingga 40 anak perkelasnya. Yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin musik dalam pelajaran musik mampu menjalani fungsi dan sifat teraupetiknya? Mengatasi anak-anak dalam sesi pengantar saja waktunya sudah habis untuk menenangkan anak agar dapat fokus dalam pelajaran. Seorang guru musik saranku harus memiliki kepekaan yang luar biasa seperti seorang dukun. Pengalaman dan wawasan musik seharusnya mampu menjadikan guru tersebut peka terhadap situasi ‘kejiwaan’ siswa. Kemampuan yang paling mendasar adalah melihat situasi siswa tersebut; sakit-sehat, sedih-senang, bosan-antusias, cemas-tenang. Dari situasi-situasi tersebut bisa dikembangkan banyak analisa dalam kepala seorang guru musik. Beberapa kelainan ‘kejiwaan’ ringan maupun yang akut-pun mampu ditelusuri dengan musik. Dan dalam hal ini idealnya sekolah juga menyediakan konselor yang memang mengerti psikologi, karena bisa saka kelainan ‘kejiwaan’ sangat ringan tersebut dapat menghambat siswa tersebut dalam proses belajar. Guru, konselor dan orangtua harus bekerjasama dalam hal ini, apabila siswa tersebut terdeteksi ganguan-gangguan tersebut maka setiap guru dapat melakukan ‘intervensi’ sesuai bidangnya, termasuk guru musik dapat memberikan terapi-terapi secara personal maupun dalam kelompok terhadap siswa tersebut.

Karena itu bagiku metode sangatlah penting dan menetukan. Tidak mungkin seorang guru musik yang datang ke kelas hanya menuliskan notasi balok di papan tulis untuk dipelajari, dan siswa-siswinya turut menyalin dan guru tersebut menerangkan teori-teori yang keren yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri memiliki waktu untuk melihat satu persatu potensi siswa-siswinya. Guru yang memiliki tujuan akhir pembelajaran adalah kemampuan musikal tidak akan mampu dan punya waktu untuk melihat maupun peduli terhadap siswa-siswinya satu persatu. Karena alasan itu biasanya sifat traupetik musik tidak terlihat dan ditinggalkan. Padahal proses-proses traupetik tersebutlah yang harus dilalui di bangku sekolah. Metode yang ideal adalah metode yang mampu menyertakan sifat-sifat traupetik dari musik. Sebenarnya metode-metode ini lebih dikembangakan dalam metode pendidikan sanggar atau padepokan. Metode-metode pendidikan sanggar dan padepokan adalah metode pendidikan yang semula ada dan sangat tua di negeri kita, yang sekarang ini lebih dikenal sebagai metode-Informal atau metode ‘ketimuran’ sedangkan metode sekolah yang kita kenal sekarang adalah metode pendidikan-Formal atau metode ‘Barat’. Metode yang salah juga akan menjadikan bumerang bagi kita sebagai guru musik, yaitu ‘mati-rasa’, atau kehilangan sensitivitas. Metode-metode yang dikembangkan dalam sanggar mampu menyentuh hati masing-masing anak yang berada didalamnya walaupun rentang usia dan jumlah yang berbeda. Pengajar-pengajar dalam sanggar mampu mengapresiasi keberbedaan dan keistimewaan setiap anak-anaknya. Tidak ada jenjang dalam sistem pembelajaran mereka sehingga tidak ada istilah naik dan tinggal kelas, yang ada siswa telah menguasai materi tertentu atau belum menguasai. Memang kita tidak bisa membawa seluruhnya metode dalam sanggar kedalam sistem sekolah formal, tetapi kita masih bisa membawa ‘cara pandang terhadap siswa’ kedalam sistem pendidikan formal.

Dengan mengetahui ini semua besar harapanku agar guru-guru musik yang membaca tulisanku ini dapat mempertimbangkan hal-hal maupun sifat-sifat traupetik dalam pengajaran musiknya. Dengan semakin majunya dunia psikologi sudah ditemukan bermacam-macam pilahan-pilahan penyakit kejiwaan yang ternyata rata-rata mampu mendapat intervensi melalui musik. Dunia musik memiliki peluang lebih luas lagi untuk mengambil bagian dalam dunia kesehatan. Generasi muda yang sehat jiwa dan raganya mampu membawa masa depan lebih baik lagi. Ini adalah kabar baik bagi guru-guru musik karena mampu mengambil bagian dalam membentuk kesehatan para generasi muda melalui musik. Semua hal perlu dilakukan dalam kesadaran penuh, termasuk dalam mengajar musik. Kesadaran mampu memperlihatkan kepada kita apa yang mata kita tidak mampu melihatnya.

‘Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.’ – WS. Rendra

 
 
 

Comments


WA.08121749578

©2018 by Agung Siregar. Proudly created with Wix.com

bottom of page